Di dunia kerja, karyawan perempuan memiliki sejumlah hak yang tidak dimiliki oleh karyawan laki-laki. Hal itu mencakup cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, larangan PHK, dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender, termasuk diskriminasi.
Sejumlah hak ini telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 6, telah ditetapkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha, termasuk karyawan hamil.
Baca Juga: Kenapa Karyawan Resign Tidak Mendapatkan Pesangon?
Namun, ternyata, karyawan hamil masih mendapatkan perlakuan diskriminasi di tempat kerja. Alhasil, mereka masih dibayangi ketakutan akan bagaimana mempunyai anak akan memengaruhi kariernya, bahkan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan.
Karyawan yang hamil masih mengalami diskriminasi karena sejumlah alasan. Melansir laman Medium.com, perusahaan melakukan diskriminasi pada karyawan hamil karena menganggap mereka akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk keluarga daripada untuk karier.
Selain itu, wanita mungkin akan kesulitan dalam menyesuaikan jadwal kerja dengan jadwal kontrol kehamilan ke dokter. Selain tidak bisa menerima waktu lembur, tingginya biaya asuransi kesehatan untuk wanita hamil menjadi alasan lain kenapa diskriminasi masih terjadi.
Bahkan, melahirkan dapat menelan biaya lebih tinggi saat tidak berjalan lancar. Tak hanya itu, jika terdapat komplikasi tertentu, biaya dapat melonjak lebih tinggi sehingga berpotensi mengakibatkan peningkatan biaya premi.
Adapun biaya tersebut akan diperberat dengan kewajiban perusahaan untuk membayarkan upah secara penuh saat karyawan sedang cuti melahirkan. Hal ini telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 84.
Jika tidak dibayarkan, sesuai Pasal 186, pengusaha dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000 dan paling banyak Rp400.000.000.
Cara Atasan Melakukan Diskriminasi
UU Ketenagakerjaan Pasal 153 juga mengatur larangan PHK karyawan perempuan karena hamil, melahirkan, gugur kandungan, dan menyusui bayinya. Karenanya, atasan melakukan berbagai trik untuk menghindari hukum.
Salah satu cara atasan melakukan diskriminasi melibatkan penilaian evaluasi kerja secara subjektif. Dengan sengaja, atasan menyabotase evaluasi kinerja karyawan hamil dengan menunjukkan ketidakmampuan kerja, padahal kenyataannya kinerja mereka setara dengan rekannya.
Baca Juga: Kenapa Karyawan Harus Belajar Bahasa Inggris?
Jika ingin mengajukan gugatan diskriminasi, karyawan perlu memberikan dokumentasi untuk membuktikan pola kinerja yang dinilai tidak memadai itu. Dengan tidak bisa dibuktikan, perusahaan akan lebih mudah menemukan alasan untuk memecat karyawan hamil.